SEBARAN informasi kini sangat bebas berkeliaran di ruang-ruang maya. Termasuk, soal kabar bohong atau hoax yang terus menggeliat. Dengan segala kemudahan akses yang tersedia lewat perangkat digital, peredaran hoax: leluasa melompat dari satu gawai ke gawai lainnya.
Sabtu, 6 April 2019, beberapa langkah preventif perihal hoax, menjadi bahan telaah utama pada acara bertajuk “Seminar dan Diskusi Literasi Media untuk Menangkal Berita Hoax”. Kegiatan itu berlangsung di Adipadma Library, kampus Institut Ilmu Kesehatan (IIK) Bhakti Wiyata Kediri.
“Hoax yang meresahkan publik, perlu diatasi dengan pembedahan teknis untuk mengetahui anatomi dan cara kerja kepalsuan,” kata Dwidjo U. Maksum, Pemimpin Redaksi Kediripedia.com yang bertindak sebagai narasumber pada acara tersebut.
Di kampus yang berdiri berdekatan dengan bibir Sungai Brantas itu, dia menjelaskan peredaran hoax secara terperinci. Awal kemunculan, definisi, identifikasi, bentuk, deteksi, ragam, pola kerja, dan bagaimana cara melawannya: diterangkan secara runtut.
Salah seorang anggota Majelis Etik Nasional AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia itu menambahkan, mendeteksi hoax memang perlu kehati-hatian. Mengingat, hoax tidak bisa dimaknai semata-mata tentang material, tapi juga sematan pesan dan efek yang ditimbulkan kepada publik.
Diskusi tersebut diikuti oleh puluhan peserta yang terdiri dari para pelajar dan mahasiswa. Menurut Nisa Emirina Royan, Kepala Perpustakaan IIK, partisipan di kegiatan ini datang dari berbagai lembaga.
“Antara lain dari mahasiswa IIK, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang sedang melakukan observasi di Perpustakaan IIK, dan pelajar dari SMKN 1 Ngasem Kediri,” ujar Nisa.
Salah seorang di antaranya yaitu Muslih, pelajar dari SMKN 1 Ngasem. Bersama empat temannya, dia datang ke IIK untuk mengikuti seminar setelah mendapat surat izin dari sekolah. “Saya mengetahui acara ini dari pamflet yang tersebar di Instagram,” katanya.
Selama hampir dua jam, Muslih dan puluhan peserta lainnya dimoderasi oleh Brian Banana, mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Solo (UNS). Diskusi mengarah kepada contoh-contoh kasus dan langkah teknis mengendus hoax. Salah satunya, melalui sejumlah tools yang tersedia di Google. Dengan penguasaan aplikasi tertentu itulah, hoax bisa dibongkar dan ditelusuri sampai ke akar-akarnya.
Sedangkan dari kajian kasuistik, gambaran bahwa informasi bisa dipalsukan amat masif di dunia maya, dapat diketahui. Misalnya, pola produksi hoax dengan mengganti judul pada portal berita online, melalui coding di mesin pencari. Kalimat pada judul yang telah diubah, kemudian menangkap gambar layar atau screenshot, lalu disebarkan dengan cara mengunggahnya di media sosial dan aplikasi chat seperti Whatsapp.
Namun, ketika sesi tanya jawab berlangsung, terdapat satu hal yang menarik. Yaitu, bagaimana bila langkah aplikatif tersebut tidak cukup untuk mengantisipasi hoax. Artinya, bahasan bergerak menyentuh ranah pola pikir atau mindset masyarakat ketika menerima sebuah informasi.
Dari proses dialektika yang terbangun di forum tersebut, memunculkan nilai kebaruan ketika memperoleh sebuah kabar. Salah satunya dengan menguatkan basis kegembiraan. Sebab, di dalam kegembiraan, ada rongga positif yang membuat siapapun tidak terlalu reaktif ketika menerima informasi.
“Dari diskusi ini kita mendapat rumusan, bahwa sejatinya kegembiraan adalah amunisi paling ampuh untuk melawan hoax, karena di dalam kegembiraan ada ketenangan yang merupakan filter penyaring terbaik,” ujar Dwidjo U. Maksum.
Dengan begitu, semua informasi: secara naluriah akan ditempatkan pada kemasukakalan. Tidak kagetan, biasa saja, dan mengalir. Pada titik itu, hoax akan sulit meliarkan diri menjadi ancaman mengerikan. Perlahan-lahan melemah, lalu musnah. (Kholisul Fatikhin)